Karena surat-surat Paulus ditulis untuk memenuhi kebutuhan khusus sidang jemaat atau pribadi tertentu, surat-surat ini dipelihara karena nilai rohaninya dan mungkin dibaca di gereja-gereja. Malahan pada kesempatan tertentu Paulus meminta supaya surat-suratnya dibacakan dan diedarkan. Oleh sebab itu surat-surat Paulus ada yang disalin dan diedarkan. Dengan demikian ada sidang-sidang jemaat yang mempunyai kumpulan surat-surat Paulus.
Petrus membuat surat untuk diedarkan kepada “orang-orang pendatang yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapafokia, Asia Kecil dan Bitinia” ( 1 Petrus 1:1 ). Ini juga menambah bukti bahwa banyak sidang jemaat yang mempunyai kumpulan tulisan-tulisan rasul-rasul. Mengenai tulisan-tulisan Paulus, ia mengatakan: “Seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya.” ( 2 Petrus 3:15 ). Ini bukti bahwa tulisan-tulisan Paulus telah tersebar luas dan banyak sidang jemaat yang memilikinya.
Dalam abad kedua terasa pengaruh para bapa Gereja. Dalam tulisan para guru dan pemimpin Gereja, mereka mengutip tulisan-tulisan para bapa Gereja, yaitu yang telah menjadi Perjanjian Baru. Surat-surat ini telah menjadi bukti yang jelas mengenai nilai buku-buku yang telah menjadi Perjanjian Baru itu.
Sesuatu yang di luar dugaan, seorang yang menganut ajaran yang tidak sepenuhnya benar, Marcion, ( 140 M ) yang menyatakan bahwa beberapa buku tertentu menurut pendapatnya memang diinspirasikan dan dimasukkannya dalam kanonnya, Kanon Marcion. Buku-buku yang diakui dalam kanon Marcion adalah Lukas dan 10 surat Paulus. Ia menolak surat-surat penggembalaan, Ibrani, Markus, Yohanes, Kisah, Surat-surat Umum dan Wahyu. Akibatnya muncul banyak kritik, dan diadakanlah studi yang lebih mendalam atas buku-buku yang ditolak Marcion. Pada akhir abad kedua sudah 20 buku dari Perjanjian Baru yang diterima sebagai kanon. Tujuh buku yang belum sepenuhnya diterima adalah buku-buku berikut: Ibrani, 2 Yohanes, 3 Yohanes, 2 Petrus, Yudas, Yakobus dan Wahyu.
Suatu pengalaman dalam sejarah mempercepat terbentuknya kanon yang diakui semua orang Kristen. Pada masa Kaisar Diocletian ( 302 ) memerintahkan bahwa semua buku yang termasuk Kitab Suci harus dibakar, orang-orang Kristen mau berkorban demi kepentingan buku-buku yang termasuk Kitab Suci itu. Tetapi timbul masalah yaitu buku-buku manakah yang termasuk Kitab Suci Perjanjian Baru itu.
Kemudian Constantin, Kaisar yang menggantikan Diocletian, memeluk agama Kristen, dan Ia memerintahkan Eusebius, Uskup Kaisarea yang adalah ahli sejarah Gereja, untuk menyiapkan 50 salinan Perjanjian Baru. Dengan demikian pada akhir abad keempat, maka semua 27 buku telah diterima. Setelah diputuskan, tak ada lagi usaha untuk menambah atau mengurangi buku-buku di dalam Perjanjian Baru.
Prinsip-prinsip yang digunakan untuk menentukan penerimaan dalam kanon yaitu:
– Kerasulan. Apakah buku itu ditulis oleh salah seorang rasul atau seorang yang dekat dengan rasul?
– Isi Kerohanian. Apakah buku itu dibacakan di Gereja-gereja dan apakah isinya terbukti membawa kekuatan rohani? Ini adalah test praktis.
– Sehatnya Doktrin. Apakah isi buku itu secara doktrin sehat? Buku yang berisi hal-hal yang sesat, atau yang bertentangan dengan apa yang telah diterima di kanon, ditolak.
– Penggunaan. Apakah buku itu digunakan secara universal, dikenal di Gereja-gereja dan apakah buku itu dikutip secara luas oleh bapa-bapa Gereja?
– Inspirasi Ilahi. Apakah buku itu memberi kesaksian yang benar mengenai inspirasi Ilahi? Ini adalah test terakhir dan yang terpenting.