Tanggal 23 Pebruari 1921, mereka tiba di Batavia (Jakarta), lalu dari Jakarta melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi, dan dengan kapal Varkenboot mereka tiba di Singaraja (Bali) pada bulan Maret 1921, kemudian menetap di Denpasar dalam sebuah gedung kopra dengan lantai batu bata yang telah hancur dan atap terbuat dari rumbia.
Letak gudang ini berada pada suatu taman yang berseberangan dengan pura Hindu. Gudangnya hanya berupa sebuah ruangan empat persegi dimana sebagian ruangan disekat untuk dijadikan 3 kamar tidur. Satu untuk suami isteri Groesbeck, satu untuk keluarga Van Klaveren dan satu lagi untuk Jennie dan Corrie. Sisanya merupakan sebuah ruangan besar yang luas, yang berfungsi baik sebagai ruang tinggal (Living Room), ruang makan maupun sebagai dapur, juga terdapat sebuah kamar mandi.
Dengan penuh kesulitan mereka mulai menabur benih Injil Sepenuh dari rumah ke rumah. Mereka dengan sepeda mengunjungi desa-desa, berhenti untuk bercakap-cakap dengan penduduk dan menanyakan apakah ada yang sakit. Bila ada, mereka didoakan, dan Tuhan menyembuhkan mereka. Mula-mula Tuhan bekerja dengan cara demikian. Orang-orang yang beragama protestan belum pernah mendengar penyembuhan dengan cara ini atau tentang baptisan air dan kepenuhan Roh Kudus.
Banyak orang-orang yang mempunyai luka bernanah, datang kerumah mereka, mereka menyobek seprei-seprei lama menjadi semacam perban untuk membalut luka-luka mereka. Baru dikemudian hari diketahui bahwa mereka menderita penyakit kusta. Mereka semua didoakan. Karena begitu banyak orang yang datang ke rumah untuk mohon didoakan dan menerima kesembuhan, maka penduduk setempat bermaksud jahat terhadap mereka.
Didepan rumah tersebut terdapat sebuah pagar kecil dan selokan sepanjang jalan. Diatas selokan terdapat sebuah jembatan kecil yang menuju rumah. Hari berikutnya penduduk Bali menceritakan tentang rencana jahat itu terhadap mereka. Mereka tidak dapat melaksanákan rencana tersebut karena mereka melihat malaikat-malaikat yang berdiri dipintu gerbang rumah. Tuhan telah membela mereka.
Apa yang mereka kerjakan disana juga telah mengundang reaksi keras imam-imam Hindhu. Hal ini mendorong Pemerintah Belanda melarang hamba Tuhan ini menetap dan menginjil di Bali dengan alasan takut merusak kebudayaan asli penduduk Bali. Seringkali mereka mengirim agen-agen dari dinas rahasia untuk memata-matai selama kebaktian berlangsung, karena mereka menyangka bahwa mereka adalah orang Bolsjewik. Mereka senang bahwa dengan jalan demikian mereka dapat mendengarkan kabar Injil.
Keluarga Van Klaverens harus meninggalkan Bali dalam waktu 3 hari. Karenanya, setelah sekitar 21 bulan berada di Bali, ketika menjelang Natal tahun 1922, kedua keluarga ini berangkat ke Surabaya, kemudian keluarga Rev.Richard van Klaverans menuju ke Batavia. Di Surabaya, Rev.Cornelius E.Groesbeek berkenalan dengan Ny.Wijnen yang mempunyai seorang keponakan yang bekerja di BPM Cepu (Shell), yaitu Sdr. F.G.Van Gessel. Dengan perantaraan Ny.Wijnen yang telah menerima kesembuhan Illahi lewat pelayanan Rev.Cornelius E.Groesbeek, maka Sdr.Van Gessel dapat berjumpa dan berkenalan dengan beliau.
Sdr.Van Gessel menyambut hangat Rev.Groesbeck karena memang telah lama dia ingin lebih mengerti dan mendalami Injil yang selama ini dibacanya. Berita Pantekosta disambutnya dengan penuh sukacita, lalu pada bulan Januari 1923 dimulailah kebaktian Pantekosta yang pertama di Deterdink Boulevard, Cepu. F.G.Van Gessel dengan istri, pegawai tinggi BPM bergaji F.800 (800 Gulden), bertobat dan menerima Injil Sepenuh. Kebaktian itu berlangsung terus dengan baik dan jumlah pengunjung bertambah hingga mencapai 50 orang.
Kebaktian di Cepu ini mengalami tantangan keras. Mereka diejek, diolok, dan dituduh sebagai aliran yang menyesatkan. Ds.Hoekendijk menegaskan bahwa kebaktian Pantekosta yang di Cepu dan mujizat yang terjadi di dalamnya berasal dari Setan. Namun demikian, Tuhan bekerja luar biasa. Tiga bulan kemudian pada 30 Maret 1923 terjadi suatu peristiwa penting yang menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Benih Injil Sepenuh yang ditabur dengan linangan air mata sejak Maret 1921 di Bali, mengeluarkan buah pertama dengan diadakannya baptisan air di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang. Baptisan ini dilakukan oleh Rev.Cornelius E.Groesbeck dan dibantu oleh Rev.J.Thiessen, seorang missionary dari Belanda. Di antara 13 orang itu terdapat suami istri F.G.Van Gessel, suami istri S.I.P.Lumoindong dan Sdr.Agust Kops.